Kamis, 21 April 2011

NEKROSIS PULPA


Karies merupakan salah satu penyakit tertua yang telah ada sejak 14.000 tahun yang lalu. sesuai dengan hasil survei kesehatan rumah tangga (SKRT) 2004 yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan menyebut prevalensi karies gigi di Indonesia adalah 90,05 persen. Karies yang berlanjut lambat laun akan mencapai bagian pulpa dan mengakibatkan peradangan pada pulpa. Walton mengklasifikasikan keradangan pada pulpa terdiri dari pulpitis reversibel, pulpitis irreversibel, degeneratif pulpa dan nekrosis pulpa.
Salah satu fungsi utama jaringan pulpa adalah formatif yang diperankan oleh odontoblas untuk membentuk dentin primer, sekunder maupun dentin reparatif. Dentin primer terbentuk di saat gigi dalam pertumbuhan, dentin sekunder terbentuk setelah gigi erupsi, sedangkan dentin tersier atau reparatif dibentuk sebagai repons terhadap rangsangan.
Jaringan pulpa mudah merespon dengan adanya rangsangan, baik rangsangan fisis, kimia maupun bakteri. Jaringan pulpa membentuk dentin reparatif sebagai respon, selain itu juga menimbulkan rasa nyeri yang merupakan sinyal sebagai tanda bahwa jaringan pulpa dalam keadaan terancam. Oleh karena adanya hubungan timbal balik antara jaringan pulpa dan periapikal, maka jaringan pulpa yang mengalami keradangan dan tidak dirawat atau perawatannya kurang baik maka penyakit pulpa dapat menjalar  ke daerah periapikal.
Terlepas dari konfigurasi anatomisnya dan beragam iritan, pulpa bereaksi terhadap iritan ini sebagaimana reaksi jaringan ikat uang lain. Cidera pulpa mengakibatkan kematian sel dan menyebabkan inflamasi. Derajat inflamasinya proporsional dengan intensitas dan keparahan kerusakan jaringannya. Cidera ringan, misalnya karies insipient atau preparasi kavitas yang dangkal, hanya menimbulkan inflamasi sedikit saja atau bahkan tidak sama sekali. Sebaliknya, karies dalam, prosedur operatif yang luas atau iritasi yang terus-menerus pada umumnya akan menimbulkan kelainan inflamasi yang lebih parah. Bergantung pada keparan dan durasi gangguan dan kemampuan pejamu untuk menangkalnya,respons pulpa berkisar antra inflamasi sementara(pulpitis reversible)sampai pada pulpitis yang iireversibel,dan kemudian menjadi nekrosis total.
Sebab – sebab penyakit pulpa
Penyebab penyakit pulpa secara umum yaitu fisis, kimiawi dan bacterial.
1.      Sebab-sebab fisis
a.Injuri mekanis
            Injuri ini biasanya disebabkan oleh trauma atau pemakaian patologi igi. Injuri traumatic data disertai atau tidak disertai oleh fraktur mahkota atau akar. Trauma tidak begitu sering menyebabkan injuri pulpa pada orang deasa disbanding pada anak-anak. Injuri traumatic pulpa mungkin disebabkan pukulan keras pada gigi waktu perkelahian, olahraga, kecelakaan mobil, kecelakaan rumah tangga. Kebiasaan seperti membuka jepit rambut dengn gigi, bruxisme / kerot kompulsif, menggigit kuku dan menggigit benang oleh penjahit wanita mungkin juga mengakibatkan injuri pulpa yang dapat mengakibatkan matinya pulpa. 
b. Injuri Termal
            Sebab-sebab termal injuri pulpa adalah hal yang tidak biasa. Panas karena preparasi kavitas, penyebab utama adalah panas yang ditimbulkan oleh bur atau diamond pada waktu preparasi kavitas. Mesin bur berkecepatn tinggi dan bur karbit dapat mengurangi waktu preparasi, tetapi dapat juga mempercepat matinya pulpa bila digunakan tanpa pendingin. Panas yang dihasilkan cukup menyebabka kerusakan pulpa yang tidak dapat diperbaiki lagi.
2.      Bahan Kimiawi
Bahan kimiawi sebagai penyebab injuri pulpa mungkin adalah yang paling tidak biasa,walaupun pada suatu waktu adanya aresnik di dalam serbuk semen-silikat dan penggunaan pasta untuk menghilangkan sensasi(desensitizing paste) yang mengandung paraformaldehida dicatat sebagai penyebab matinyapulpa pada gigi insisivus yang paling sering. Pulpa tahan terhadap semen polikarboksilat. Aplikasi suatu pembersih kavitas pada lapisan dentin yang tipis dapat menyebabkan inflamasi pulpa.
3.      Bacterial
Pada tahun 1984, W.D. Miller menunjukkan bahwa bakteri merupakan kemungkinan penyebab inflamasi di dalam pulpa. Penyebab paling umum injuri pulpa daalah bkterial. Bakteri atau produk-produknya mungkin masuk ke dalam pulpa melalui keretakan pada dentin, baik dari karies ataau terbukanya pulpa elah karena kecelakaaan, daari perlokasi disekeliling suatu restorasi, dari perluasan infeksi dari gusi/melalui peredaraan darah. Meskipun jalan peredaraan sukar untuk dibuktikan, beberapa fakta eksperimental menunjukkan bahwa hal ini dimungkinkan(efek anakoretik). Mikroorganisme berperan penting dalam genesis penyakit pulpa. Ada atau tidak adnya iritasi bakteraial adalah faktor penentu dalam kelangsungan hidup pulpa begitu pulpa terbuka secara mekanis. Meskipun terdapat inspaksi makanan, pembentukan jembatan dentin terjadi pada tikus genotobiotik (suci hama)  setelah terbukanya pulpa. Sebaliknya, nekrosis pulpa, pembentukan abses, dan granuloma berkembang pada pulpa tikus yang terbuka yang dijaga dalam kondisi labiratori biasa. 
Sekali bakteri mengadakan invasi dalam pulpa, kerusakan hampir selalu tidak dapat diobati. Laporan dari studi kecil tentang pulpitis dengan rasa sakit menyatakan : ‘pulpitis dan  terbukanya pulpa yang sebenarnya, apakah berhubungan dengan karies dalam, restorsi dalam, atau penyebab lain berjalan berdampingan. Tidak ada korelasi antara keparahan rasa sakit dan tingkat keterlibatan  pulpa.
NEKROSIS PULPA
Nekrosis pulpa merupakan kematian pulpa yang merupakan proses lanjutan dari inflamasi pulpa akut/kronik atau terhentinya sirkulasi darah secara tiba-tiba akibat trauma. Nekrosis pulpa dapat terjadi parsialis ataupun totalis3. Ada 2 tipe nekrosis pulpa, yaitu:
1. Tipe koagulasi
Pada tipe ini ada bagian jaringan yang larut, mengendap dan berubah menjadi bahan yang padat.
2. Tipe liquefaction
Pada tipe ini, enzim proteolitik merubah jaringan pulpa menjadi suatu bahan yang lunak atau cair3. Pada setiap proses kematian pulpa selalu terbentuk hasil akhir berupa H2S, amoniak, bahan-bahan yang bersifat lemak, indikan, protamain, air dan CO2. Diantaranya juga dihasilkan indol, skatol, putresin dan kadaverin yang menyebabkan bau busuk pada peristiwa kematian pulpa. Bila pada peristiwa nekrosis juga ikut masuk kuman-kuman yang saprofit anaerob, maka kematian pulpa ini disebut gangren pulpa.

ETIOLOGI NEKROSIS PULPA
Nekrosis atau kematian pulpa memiliki penyebab yang bervariasi, pada umumnya disebabkan keadaan radang pulpitis yang ireversibel tanpa penanganan atau dapat terjadi secara tiba-tiba akibat luka trauma yang mengganggu suplai aliran darah ke pulpa. Meskipun bagian sisa nekrosis dari pulpa dicairkan atau dikoagulasikan, pulpa tetap mengalami kematian. Dalam beberapa jam pulpa yang mengalami inflamasi dapat berdegenerasi menjadi kondisi nekrosis.
Penyebab nekrosi lainnya adalah bakteri, trauma, iritasi dari bahan restorasi silikat, ataupun akrilik. Nekrosis pulpa juga dapat terjadi pada aplikasi bahan-bahan devitalisasi seperti arsen dan paraformaldehid. Nekrosis pulpa dapat terjadi secara cepat (dalam beberapa minggu) atau beberapa bulan sampai menahun. Kondisi atrisi dan karies yang tidak ditangani juga dapat menyebabkan nekrosis pulpa. Nekrosis pulpa lebih sering terjadi pada kondisi fase kronis dibanding fase akut.

PATOFISIOLOGI NEKROSIS PULPA
Jaringan pulpa yang kaya akan vaskuler, syaraf dan sel odontoblast; memiliki kemampuan untuk melakukan defensive reaction yaitu kemampuan untuk mengadakan pemulihan jika terjadi peradangan. Akan tetapi apabila terjadi inflamasi kronis pada jaringan pulpa atau merupakan proses lanjut dari radang jaringan pulpa maka akan menyebabkan kematian pulpa/nekrosis pulpa. Hal ini sebagai akibat kegagalan jaringan pulpa dalam mengusahakan pemulihan atau penyembuhan. Semakin luas kerusakan jaringan pulpa yang meradang semakin berat sisa jaringan pulpa yang sehat untuk mempertahankan vitalitasnya.
Nekrosis pulpa pada dasarnya terjadi diawali karena adanya infeksi bakteria pada jaringan pulpa. Ini bisa terjadi akibat adanya kontak antara jaringan pulpa dengan lingkungan oral akibat terbentuknya dentinal tubules dan direct pulpal exposure, hal ini memudahkan infeksi bacteria ke jaringan pulpa yang menyebabkan radang pada jaringan pulpa. Apabila tidak dilakukan penanganan, maka inflamasi pada pulpa akan bertambah parah dan dapat terjadi perubahan sirkulasi darah di dalam pulpa yang pada akhirnya menyebabkan nekrosis pulpa. Dentinal tubules dapat terbentuk sebagai hasil dari operative atau restorative procedure yang kurang baik atau akibat restorative material yang bersifat iritatif. Bisa juga diakibatkan karena fraktur pada enamel, fraktur dentin, proses erosi, atrisi dan abrasi. Dari dentinal tubules inilah infeksi bakteria dapat mencapai jaringan pulpa dan menyebabkan peradangan. Sedangkan direct pulpal exposure bisa disebabkan karena proses trauma, operative procedure dan yang paling umum adalah karena adanya karies. Hal ini mengakibatkan bakteria menginfeksi jaringan pulpa dan terjadi peradangan jaringan pulpa.
Nekrosis pulpa yang disebabkan adanya trauma pada gigi dapat menyebabkan nekrosis pulpa dalam waktu yang segera yaitu beberapa minggu. Pada dasarnya prosesnya sama yaitu terjadi perubahan sirkulasi darah di dalam pulpa yang pada akhirnya menyebabkan nekrosis pulpa. Trauma pada gigi dapat menyebabkan obstruksi pembuluh darah utama pada apek dan selanjutnya mengakibatkan terjadinya dilatasi pembuluh darah kapiler pada pulpa. Dilatasi kapiler pulpa ini diikuti dengan degenerasi kapiler dan terjadi edema pulpa. Karena kekurangan sirkulasi kolateral pada pulpa, maka dapat terjadi ischemia infark sebagian atau total pada pulpa dan menyebabkan respon pulpa terhadap inflamasi rendah. Hal ini memungkinkan bakteri untuk penetrasi sampai ke pembuluh dara kecil pada apeks. Semua proses tersebut dapat mengakibatkan terjadinya nekrosis pulpa.

MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS NEKROSIS PULPA
Nekrosis pulpa dapat terjadi parsial atau total. Tipe parsial dapat memperlihatkan gejala pulpitis yang ireversibel. Nekrosis total, sebelum mengenai ligamentum periodontal biasanya tidak menunjukkan gejala. Tidak merespon terhadap tes suhu atau elektrik. Kadang-kadang bagian depan mahkota gigi akan menghitam. Tampilan radiografik pada destruksi tulang ataupun pada bagian yang mengalkami fraktur merupakan indikator terbaik dari nekrosis pulpa dan mungkin membutuhkan beberapa bulan untuk perkembangan. Kurangnya respon terhadap test suhu dan elektrik tanpa bukti radiografik adanya destruksi tulang terhadap bagian fraktur tidak menjamin harusnya terapi odontotik.
Nekrosis pulpa pada akar gigi menunjukkan terjadi dari 20%-40%. kejadian dari nekrosis pulpa terlihat tidak berhubungan dengan lokasi terjadinya fraktur akar gigi pada apikal, tengah ataupun bidang insisial tetapi lebih berhubungan dengan kavitas oral taupun beberapa dislokasi segmen insisial. Jika ada bukti pada portiokoronal pulpa, ini secara umum dipercaya bahwa segmen apikal akan tetap berfungsi. Perawatan edontotik adapun biasanya dilakukan pada segmen koronal pada kanal akar gigi.
Kemampuan diagnostik dokter benar-benar diuji ketika terdapat beberapa kanal pada gigi. Misalnya gigi molar yang memiliki 3 kanal, dengan kanal pertama tetap intak dan sehat, kanal kedua mengalami inflamasi akut, dan kanal ketiga mengalami nekrosis2. Lingkungan pulpa memiliki keunikan dibandingkan dengan jaringan lunak tubuh lainnya. Karena pulpa memiliki lingkungan “non compliant” yang menyebabkan produk inflamasi lebih lambat dihilangkan dibandingkan jaringan lunak tubuh yang lain. Keadaan ini menyebabkan terjadinya destruksi lokal dalam jaringan pulpa. Anamnesis pada nekrosis pulpa berupa tidak ada gejala rasa sakit, keluhan sakit terjadi bila terdapat keradangan periapikal. Pemeriksaan perkusi tidak didapatkan nyeri dan pada palpasi juga tidak terdapat pembengkakan serta mobilitas gigi normal. Foto rontgen gigi biasanya normal kecuali bila terdapat kelainan periapikal terjadi perubahan berupa radiolusen.

Pulp Capping


Perforasi traumatic dari pulpa dapat terjadi dengan dua cara, melalui benturan pada gigi atau terbenturnya gigi oleh alat secara tak sengaja pada preparasi kavitas. Luka pulpa harus dibersihkan dari kotoran dan perdarahan dihentikan dengan kapas steril atau paper point yang diletakkan pada luka. Bila luka kering, bahan pulp capping harus diletakkan di atas daerah perforasi. Tindakan ini harus diikuti dengan basis zinc okside-eugenol dan restorasi permanen (Haskell dkk, 1978).
Bahan yang paling sering digunakan untuk pulp capping mengandung kalsium hidroksid (Zander, 1939; Stanley dan Lundy, 1972). Penggunaan kalsium hidroksid yang tepat menghasilkan keberhasilan 75% (Tronstad, 1974; Pitt Ford, 1980), walaupun beberapa bahan serupa tidak berhasil (Pitt Ford, 1980).
Pada situasi yang menguntungkan, pulpa member respons dengan membentuk dentin reparative di balik daerah perforasi untuk membuat jembatan dentin. Pada penggunaan bahan yang paling tepat, jembatan ini terbentuk di dekat bahan capping, tetapi dengan bahan kalsium hidroksid sendiri, jembatan terbentuk jauh dari bahan capping (Tronstad, 1974). Jembatan dentin tidak dibentuk oleh kalsium dari bahan pulp capping (Attalla dan Noujaim, 1969).
Pentingnya mencegah kontaminasi bakteri pada saat perforasi perlu diperhatikan ( Paterson, 1974), namun Cox dkk (1982) menunjukkan bahwa kontaminasi dalam periode 24 jam tidak mempengaruhi keadaan pulpa. Sebaliknya, tingkat keberhasilan pada gigi yang terkontaminasidengan ludah selama 7 hari lebih rendah. Besar perforasi juga diperkirakan mempengaruhi hasil, walaupun Pitt Ford (1979) tidak menemukan bukti yang mendukung perkiraan ini.
Keberhasilan jangka panjang dari pulp capping cukup baik (McWalter, El Kafrawy dan Mitchell, 1976; Haskell dkk, 1978); namun Cox dkk (1985) menemukan tingkatan yang lebih rendah pada pemeriksaan histology. Mereka berpendapat bahwa hal ini disebabkan oleh penetrasi bakteri sekitar restorasi dan melalui jembatan dentin yang tidak sempurna sehingga menimbulkan radang pulpa. Mereka menganjurkan bahwa bahan pul capping harus dilapisi dengan basis; zinc okside eugenol tampaknya paling tepat dan terbukti memperbaiki kualitas jembatan dentin (Langer, Ulmansky dan Sela, 1970).
Semen zinc okside eugenol adalah bahan pulp capping yang kurang baik (Glass dan Zander, 1949), ini disebabkan oleh sifat iritasinya pada konsentrasilebih dari 10 -3 (Hume, 1988). Namun bila bahan ini terpisah dari pulpa melalui lapisan dentin yang utuh, konsentrasi eugenol pada odontoblas cukup rendah untuk mencegah terjadinya kerusakan pulpa permanen.
Preparat yang mengandung antibiotic dan steroid seperti Ledermix diperkenalkan untuk pulp capping dengan dasar bahwa antibiotic akan membunuh mikroorganisme dan steroid mengurangi radang pulpa sehingga mengurangi rasa sakit. Paterson (1976) menunjukkan bahwa bahan tersebut tidak membentuk jembatan dentin tetapi pulpa mengalami nekrosis yang makin meluas. Tingkat keberhasilan yang paling tinggi dapat diperoleh dengan bahan hidroksid. Preparat steroid-antibiotik digunakan sebagai bahan dressing paliatif sebelum melakukan perawatan saluran akar pada gigi perforasi karena karies.
Fraktur dan pulpa
Fraktur yang mengenai pulpa dapat dirawat secara konservatif bila dilakukan perawatan cukup dini. Asalkan perawatan dilakukan dalam waktu 2 hari, pulpa masih tetap hidup (Heide dan Mjor, 1983). Pulp capping adalah metode perawatan yang dipilih pada saat terjadinya kecelakaan, sedangkan pulpotomi lebih tepat bila dilakukan setelah 2 hari kemudian (Heide dan Kerekes, 1986).
Pulp capping
Pulpa capping didefinisikan (British Standards Institution, 1983) sebagai aplikasi dari satu atau beberapa lapis bahan pelindung di atas pulpa vital yang terbuka.
Pulp capping tidak langsung
Istilah ini digunakan untuk menunjukkan penempatan dressing adhesive di atas sisa dentin karies yang sudah mengeras dalam usaha mempercepat pembentukan dentin sekunder dalam kamar pulpa (Shovelton, 19720).
Pada kunjungan pertama, semua lesi karies lunak dihilangkan dengan ekskavator yang tajam atau bur berkecepatan rendah, dan outline kavitas yang dibuat. Daerah dentin di dekat daerah bakal perforasi pulpa ditutup dengan selapis bahan yang mengandung kalsium hidroksida, misalnya Dycal, dan kavitas ditutup dengan semen zinc okside eugenol yang cepat mengeras, misalnya Kalzinol. Setelah sekurang-kurangnya 6 minggu, gigi dapat dibuka dan pada kasus yang berhasil akan terlihat dentin sekunder pada aspek pulpa, sisa dentin yang karies dapat dihilangkan tanpa adanya resiko perforasi pulpa. Riwayat rasa sakit rekuren selama periode perawatan merupakan kontra indikasi dari cara perawatan ini, dan untuk itu perlu dilakukan tindakan yang lebih menyeluruh. Walaupun pulp capping tidak langsung dapat berhasil pada kasus tertentu, diperkirakan kecepatan penyebaran radang dalam kamar pulpa gigi susu yang karies, ditambah dengan ketidak pastian diagnose, akan membuat indikasi penggunaan cara ini terbatas.
Pulp capping langsung
Menunjukkan bahwa bahan sedasi diaplikasikan langsung ke jaringan pilpa. Teknik ini sebaiknya digunakan untuk perawatan perforasi pulpa yang kecil, bersih, traumatic dengan tingkat keberhasilan 75%, yang ditemukan pada salah satu penelitian (Jeppesen, 1971). Daerah yang terbuka tidak boleh terkontaminasi dengan saliva; dressing kalsium bidroksida dapat dipasang di dekat pulpa dan selapis semen zinc oksid eugenol dapat diletakkan di seluruh lantai pulpa dan dibiarkan mengeras, untuk menghindari tekanan pada daerah perforasi bila gigi direstorasi dengan amalgam.

1. Pulp Capping
             Pulp Capping didefinisikan sebagai aplikasi dari satu atau beberapa lapis bahan pelindung di atas pulpa vital yang terbuka. Bahan yang biasa digunakan untuk pulp capping ini adalah kalsium hidroksida karena dapat merangsang pembentukan dentin sekunder secara efektif dibandingkan bahan lain. Tujuan pulp capping adalah untuk menghilangkan iritasi ke jaringan pulpa dan melindungi pulpa sehingga jaringan pulpa dapat mempertahankan vitalitasnya. Dengan demikian terbukanya jaringan pulpa dapat terhindarkan. Teknik pulp capping ini ada dua yaitu indirect pulp capping dan direct pulp capping.

1.1 Indirect Pulp Capping
             Istilah ini digunakan untuk menunjukan penempatan bahan adhesif di atas sisa dentin karies. Tekniknya meliputi pembuangan semua jaringan karies dari tepi kavitas dengan bor bundar kecepatan rendah. Lalu lakukan ekskavasi sampai dasar pulpa, hilangkan dentin lunak sebanyak mungkin tanpa membuka kamar pulpa. Basis pelindung pulpa yang biasa dipakai yaitu zinc okside eugenol atau dapat juga dipakai kalsium hidroksida yang diletakan di dasar kavitas. Apabila pulpa tidak lagi mendapat iritasi dari lesi karies diharapkan jaringan pulpa akan bereaksi secara fisiologis terhadap lapisan pelindung dengan membentuk dentin sekunder. Agar perawatan ini berhasil jaringan pulpa harus vital dan bebas dari inflamasi. Biasanya atap kamar pulpa akan terbuka saat dilakukan ekskavasi. Apabila hal ini terjadi maka tindakan selanjutnya adalah dilakukan direct pulp capping atau tindakan yang lebih radikal lagi yaitu amputasi pulpa (pulpotomi).

1.2 Direct Pulp Capping
             Direct Pulp Capping menunjukkan bahwa bahan diaplikasikan langsung ke jaringan pulpa. Daerah yang terbuka tidak boleh terkontaminasi oleh saliva, kalsium hidroksida dapat ditempatkan di dekat pulpa dan selapis semen zinc okside eugenol dapat diletakkan di atas seluruh lantai pulpa dan biarkan mengeras untuk menghindari tekanan pada daerah perforasi bila gigi di restorasi. Pulpa diharapkan tetap bebas dari gejala patologis dan akan
lebih baik jika membentuk dentin sekunder. Agar perawatan ini berhasil maka pulpa disekitar daerah terbuka tersebut harus vital dan dapat terjadi proses perbaikan.
Langkah-langkah Pulp Capping :
1. Siapkan peralatan dan bahan.
Gunakan kapas, bor, dan peralatan lain yang steril.
2. Isolasi gigi.
Selain menggunakan rubber dam, isolasi gigi juga dapat menggunakan kapas dan saliva ejector, jaga posisinya selama perawatan.
3. Preparasi kavitas.
Tembus permukaan oklusal pada tempat karies sampai kedalaman 1,5 mm (yaitu kirakira 0,5 mm ke dalam dentin. Pertahankan bor pada kedalaman kavitas dan dengan hentakan intermitten gerakan bor melalui fisur pada permukaan oklusal.
4. Ekskavasi karies yang dalam
Dengan perlahan-lahan buang karies dengan ekskavator, mula-mula dengan menghilangkan karies tepi kemudian berlanjut ke arah pulpa. Jika pulpa vital dan bagian yang terbuka tidak lebih besar diameternya dari ujung jarum maka dapat dilakukan pulp capping.
5. Berikan kalsium hidroksida.
Keringkan kavitas dengan cotton pellet lalu tutup bagian kavitas yang dalam termasuk pulpa yang terbuka dengan pasta kalsium hidroksida.



              Pulp capping berasal dari pulp tutup nama yang berarti mencoba mensterilkan daerah gigi yang rusak dan juga sebagai salah satu dapat, diikuti dengan menghentikan pendarahan dan menempatkan hak mengisi bahan di atasnya. Berjaga-jaga adalah bahwa gigi yang sudah abscessed tidak boleh pulp-capped - ini dilakukan untuk mereka yang gigi mana saraf kesal namun masih hidup dan cukup sehat untuk memperbaiki diri diberi kesempatan untuk melakukannya. Pulp capping memberinya kesempatan dengan keluar bagian membusuk dan bakteri kemudian menempatkan bersih saus di atasnya dengan pengisian

             Setelah menghilangkan jaringan terluka gigi dari gigi membusukkan gigi atau tulang, langkah berikutnya adalah biasanya pengajuan rongga dengan bahan memulihkan cocok. Ketika jaringan pulpa terekspos karena mendapat terkontaminasi oleh bakteri dan sebagian besar ini adalah kondisi yang menjamin klinisi untuk melakukan pulp capping.
Ketika melakukan prosedur ini, derajat nyeri dan ukuran eksposur pulpa dianggap.

              Prosedur ini secara tradisional dilakukan dengan menggunakan formulasi kalsium hidroksida yang mempunyai efek bakterisida; telah menunjukkan bahwa jembatan ini dentinal bukan segel berkelanjutan sehingga memungkinkan bakteri kebocoran melalui gigi. Langsung pulp capping dengan resin perekat pada pulp terbuka telah disarankan pada kondisi yang marjinal mikro-kebocoran dicegah sehingga untuk memulihkan gigi; persidangan di monyet-monyet dan primata lain menunjukkan bahwa sistem perekat dan resin komposit secara alami kompatibel dengan jaringan pulpa ketika benar ditempatkan pada bagian terbuka setelah pendarahan dikontrol dengan baik.

              Tingkat pendarahan adalah tanda proyeksi tentang apa yang mungkin terjadi pada gigi tertutup, sistem perekat setelah itu menggunakannya menyebabkan pulpa dan tanggapan yang berbeda-beda kebocoran. Gaya etsa menggunakan asam fosfat pada konsentrasi 30% paling digunakan selama proses restorasi.

              Penelitian saat ini merekomendasikan penggunaan perekat bukan kalsium hidroksida tradisional pada langsung pulp capping. Klinis menempatkan, memperlakukan mode ini terbatas pada pulp terpapar kurang dari 2mm di diameter.
(http://www.drchetan.com/pulp-capping.html)

Degenerasi Atrofik, Kalsifik, dan Fibrous


Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang konservasi gigi khususnya bidang endodontik akhir-akhir ini demikian pesat, mulai dari penemuan alat-alat preparasi saluran akar, teknik preparasi, prosedur pembersihan dan sterilisasi saluran akar serta metode pengisian saluran akar. Perkembangan ini dapat menunjang dokter gigi dalam mengatasi kesulitan- kesulitan yang sering dialami pada prosedur perawatan endodontik.
Untuk mendapatkan hasil perawatan yang optimal, dokter gigi harus memahami tiga prinsip dasar perawatan endodontik yang dikenal dengan istilah Triad Endodontic (debridement, sterilisasi saluran akar dan obturasi 3-D). Tahapan-tahapan tersebut saling berkaitan, tumpang tindih dan saling bergantung satu sama lain dalam menentukan keberhasilan perawatan. Preparasi saluran akar dan sterilisasi seringkali dilakukan secara bersama-sama dan dikenal sebagai prosedurc leraning and shaping.
Penyakit pulpa dan jaringan periapikal/periradikular mempunyai hubungan yang sangat erat, dimana inflamasi pulpa dapat menyebabkan perubahan inflamatori pada ligamentum periodontal bahkan sebelum pulpa menjadi nekrotik seluruhnya.

Pengertian Degenerasi
Meskipun degenerasi pulpa, seperti demikian, secara klinis jarang dikenal, jenis degenerasi pulpa harus diikutkan pada suatu deskripsi penyakit pulpa. Degenerasi umumnya dijumpai pada gigi orang tua. Degenerasi dapat juga disebabkan oleh iritasi ringan yang persisten pada gigi orang muda,seperti pada degenerasi kalsifik pulpa. Degenerasi tidak perlu berhubungan dengan infeksi atau karies, meskipun suatu kavitas atau tumpatan mungkin dijumpai pada gigi yang terpengaruh. Tingkat awal degenerasi pulpa biasanya tidak menyebabkan gejala klinis nyata. Gigi tidak berubah warna,dan pulpa bereaksi secara normal terhadap tes listrik dan tes termal. Bila degenerasi pulpa berkembang, gogo mungkin berubah warna, dan pulpa tidak bereaksi terhadap stimulasi.
Degenerasi pulpa ini jarang ditemukan namun perlu diikutkan pada suatu deskripsi penyakit pulpa. Degerasi pulpa pada umunya ditemui pada penderita usia lanjut yang dapat disebabkan oleh iritasi ringan yang persisten. Kadang-kadang dapat juga ditemukan pada penderita muda seperti pengapuran. Degenerasi pulpa ini tidak perlu berhubungan dengan infeksi atau karies, meskipun suatu kavitas atau tumpatan mungkin dijumpai pada gigi yang terpengaruh. Tingkat awal degenerasi pulpa biasanya tidak menyebabkan gejala klinis yang nyata. Gigi tidak berubah warna, dan pulpa bereaksi secara normal tehadap tes listrik dan tes termal. Ada beberapa macam degenerasi pulpa yaitu degenerasi kalsifik, degenerasi atrofik, degenerasi fibrous.
Bila terjadi kerusakan pada tulang belakang dan tidak terkoreksi, tubuh akan menimbun kalsium di tempat yang tidak bergerak. Jika cukup lama dan tidak terdeteksi, maka menyebabkan penyatuan dari tulang belakang dan akan mengurangi pergerakan tulang belakang tersebut.
Degenerasi ( Proses Penuaan ) ada 3 phase :
            Phase I : Biasanya terlihat sebagai tulang belakang yang tidak pada tempatnya. Pergerakan sendi masih normal, tapi kurva dan sela-sela disc (bantalan piringan antara tulang) sudah menunjukkan adanya ketidakseimbangan. Phase ini disebut phase awal, biasanya sakit akan sembuh sendiri tetapi proses degenerasi akan terus berlanjut.
Phase II : Dengan x-ray terlihat spur  dan pinggir tulang yang tidak rata / pengapuran, jaringan otot, disc, dan ligamen mengalami kemunduran dikarenakan kurangnya pergerakan, mungkin sakit atau symptom  yang lain belum juga muncul, tapi bisa terdeteksi terlebih dahulu dengan x-ray.
Phase III : Pada Phase ini kalau tidak diperhatikan akan menyebabkan penyatuan tulang belakang, pengecilan dan kerusakan sistem saraf yang menetap.
Degenerasi karena subluksasi atau sendi yang tidak bergerak dengan seharusnya, bila terdeteksi dini dan mengikuti cchiropractic care dapat memperlambat bahkan menghentikan proses degenerasi itu sendiri.



1.    Degenerasi Kalsifik
Degenerasi Kalsifik. Pada degenerasi kalsifik, sebagian jaringan pulpa digantikan oleh bahan mengapur, yaitu terbentuk batu pulpa atau dentikel. Kalsifikasi ini dapat terjadi baik dari dalam kamar pulpa ataupun saluran akar, tapi umumnya dijumpai pada kamar pulpa. Bahan mengapur mempunyai struktur berlamina seperti kulit bawang, dan terletak tidak terikat di dalam badan pulpa. Dentikel atau batu pulpa demikian dapat menjadi cukup besar untuk memberikan suatu bekas pada kavitas pulpa bila massa mengapur tersebut dihilangkan. Pada jenis kalsifikasi lain, bahan mengapur terikat pada dinding kavitas pulpa dan merupakan suatu bagian utuh darinya. Tidk selalu mungkin untuk membedakan satu jenis dari jenis lain pada radiograf.
Diduga bahwa batu pulpa dijumpai pada lebih dari 60% gigi orang dewasa. Batu pulpa dianggap sebagai pengerasan yang tidak berbahaya, meskipun rasa sakit yang menyebar (reffered pain) pada beberapa pasien dianggap berasal dari kalsifikasi ini pada pulpa.
Gigi dengan batu pula juga dicurigai sebagai focus infeksi oleh beberapa klinisi. Tidak ditemukan perbedaan dalam insidensi batu pulpa antara kelompok pasien yang menderita encok dan kelompok control normal dengan umur yang kira-kira sama.














2.    Degenerasi Atrofik

Atrofi adalah berlawanan dengan hipertropi. Ingin darah atau pasokan energy saraf akan menyebabkan organ menjauh.jadi lumpuh tangan sering, pada waktunya,layu setengah ukuran aslinya. Atrofi terjadi secara alami, diseluruh tubuh, dengan usia setengah usia tengah. Pertama lemak yang diserap, maka otot, dan bagian – bagian lainnya.
Pada jenis degenerasi ini, yang diamati secara histopatologis pada pulpa orang tua, dijumpai lebih sedikit sel-sel stelat dan cairan interselular meningkat. Jaringan pulpa kurang sensistif daripada normal. Yang disebut “atrofi reticular” adalah suatu artifak (artifact) dihasilkan oleh penundaan bahan fiksatif dalam mencapai pulpa dan hendaknya tidak dikelirukan dengan degenerasi atrofik.Tidak terdapat diagnosis klinis.
            
    

3.    Degenerasi Fibrous.
 Bentuk degenerasi pulpa ini ditandai dengan pergantian elemen selular oleh jaringan penghubung fibrous. Pada pengambilan dari saluran akar, pulpa demikian mempunyai penampilan khusus serabut keras. Penyakit ini tidak menyebabkan gejala khusus untuk membantu dalam diagnosis klinis.